Sabtu, 03 November 2012

Peradaban turki usmani dan penaklukan konstatinopel


Kota yang penuh ramalan dan takhayul ini memiliki tembok besar bernama Theodosius yang berusia seribu tahun, pertahanan paling kokoh pada Abad Tengah. Orang Turki Ustmani pada abad ke-14 dan ke-15 menamakannya sebagai “tulang yang menyilang di tenggorokan Allah,” yaitu sebuah hambatan psikologis yang mengganjal ambisi mereka dan yang menghalangi mereka tentang penaklukan.
 
            Karena lokasinya yang sangat strategis yaitu antara batas Eropa dan Asia  dan sebagai pusat peradaban dunia yang menjadi simbol atas penguasaan dunia, maka tak heran jika Konstantinopel menjadi rebutan para penguasa di penjuru dunia, baik Timur maupun Barat. Bahkan dikisahkan dalam buku ini umat Islam sejak 800 tahun tergiur untuk menaklukkannya (hlm. 5). Penyerangan demi penyerangan terus dilakukan terhadap kota ini. 
Setiap tahun antara musim semi dan musim gugur, musuh-musuh mengepung tembok kota dan menyerang laut di selat-selat kecil yang mengakibatkan pertempuran habis-habisan dengan armada Byzantium. Selama 1.123 tahun sejak awal berdirinya 330 M sampai 1453 M, kota ini mengalami 23 kali pengepungan. 

            Penyerangan demi penyerangan itu pun seringkali berakhir dengan kegagalan, hal ini tidak lain karena pertahanan tembok Kontantinopel begitu kuat. Hingga akhirnya datanglah Sang Penakluk, Sultan Ustmani, Mehmet II, pemuda 21 tahun yang haus keagungan, berhasil melewati tembok pertahanan kota dengan bala tentaranya yang sangat besar. Berbekal persenjataan baru dan canggih, pada Jumat, 6 April 1453, sebanyak 80.000 pasukan muslim memulai serangan mereka terhadap 8.000 pasukan Kristen di bawah pimpinan Konstantin XI, kaisar Byzantium ke-57. 

            Pertempuran berlangsung selama 55 hari, sepanjang waktu Mehmet memusatkan pasukannya di tiga tempat; di utara antara Istana Balacernae dan Gerbang Charisan, di bagian tengah di sekitar Sungai Lycus, dan di selatan dekat Laut Marmara di Gerbang Mileter Ketiga. Hingga pada dini hari di atas jam 02.00 waktu setempat, 29 Mei 1453, pimpinan Konstantin dikelilingi para pengawalnya –Theopilus, Palailogos, John Dalmata, Don Francisco dari Toledo– mati ditebas saat menghalangi prajurit Mahmet. Dengan itu. jatuhlah Konstantinopel ke tangan kaum muslimin, dan berkibarlah bendera Islam sebagai titik awal kejayaan peradaban Islam atas dunia. Atas dasar inilah Piliph Mansel menilai bahwa buku ini merupakan sebuah petunjuk untuk mengetahui mengapa Istambul menjadi kota Muslim.

Sultan Mehmed II juga dikenal sebagai el-Fatih, “sang Penakluk”,. Ia merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 6 bahasa saat berumur 21 tahun. Seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawaduk setelah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di Ain Jalut melawan tentara Mongol).
Kejayaannya dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan banyak kawan dan lawan kagum dengan kepimpinannya serta taktik & strategi peperangannya yang dikatakan mendahului pada zamannya dan juga kaedah pemilihan tenteranya. Ia merupakan anak didik Syekh Syamsuddin yang masih merupakan keturunan Abu Bakar As-Siddiq.
Ia jugalah yang mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol (Islam keseluruhannya). Kini nama tersebut telah diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. Untuk memperingati jasanya, Masjid Al Fatih telah dibangun di sebelah makamnya.
Diceritakan bahwa tentara Sultan Muhammad Al Fatih tidak pernah meninggalkan solat wajib sejak baligh & separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajud sejak baligh. Hanya Sultan Muhammad Al Fatih saja yang tidak pernah meninggalkan solat wajib, tahajud & rawatib sejak baligh hingga saat kematiannya.Sultan Muhammad II atau Mehmed Al-Fatih
Kekaisaran Romawi terpecah dua, Katholik Roma di Vatikan dan Yunani Orthodoks di Byzantium atau Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu.
Yang mengincar kota ini untuk dikuasai termasuk bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, Arab-Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada ramalan Rasulullah SAW .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar